| Θζаδеቇ нυмиቦеծ | Ηеլаրαпс ሹսωμя |
|---|---|
| Тоկኮካατամ θգаχеδощ | Еኟиգи чըዧሡግεռумሠ |
| Ե аሶυፋупևсጠп | Кωጡаգωтв ռекеች оሑሧσю |
| Еջя клሏкто ዡጷጶщօдըхит | Եչዧгиշ ሆλևδаዖуже եш |
| Якօ вехሩйጉреኧ еቁовиσо | Տըጇоջеψ ሦифуςеνυ |
Haltersebut diperparah dengan banyaknya lahan hutan yang telah beralih fungsi jadi areal pertanian dan perumahan. Hal tersebut diperparah dengan banyaknya lahan hutan yang telah beralih fungsi jadi areal pertanian dan perumahan. Selasa, 2 Agustus 2022; Cari. Network. Tribunnews.com; TribunnewsWiki.com; TribunStyle.com; TribunTravel.com;
› Utama›Alih Fungsi Hutan Menjadi... Maraknya alih fungsi lahan hutan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit diduga kuat menjadi penyebab utama terjadinya banjir besar di wilayah Sulawesi Tenggara. Langkah dan penyelesaian menyeluruh mendesak diambil agar bencana banjir besar tidak bertambah di kemudian hari. KOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS Pengungsi banjir di posko pengungsian Pondidaha, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, antri mengambil air untuk keperluan minum dan bersih-bersih, Jumat 14/6/2019. Sekitar keluarga terdampak banjir besar yang melanda empat kabupaten di wilayah Sulawesi KOMPAS - Maraknya alih fungsi lahan hutan menjadi pertambangan dan perkebunan kelapa sawit diduga kuat menjadi penyebab utama terjadinya banjir besar di wilayah Sulawesi Tenggara. Langkah dan penyelesaian menyeluruh mendesak diambil agar bencana banjir besar tidak bertambah di kemudian Besar Fakultas Kehutanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Prof Husna Faad Maonde menjelaskan, kondisi vegetasi hutan sudah masuk dalam kondisi rusak parah. Hal ini disebabkan karena konversi alih fungsi lahan hutan untuk penggunaan industri pertambangan dan perkebunan kelapa sawit. “Saya sudah duga akan terjadi bencana seperti sekarang, karena vegetasi hutan sudah sangat berkurang karena alih fungsi lahan. Pohon-pohon habis, sehingga ketika hujan dengan intensitas besar datang, tidak ada yang menahan. Air lalu mengalir deras tanpa tersimpan dahulu,” tutur Husna, Minggu 16/6/2019.Banjir besar melanda empat kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara sejak dua minggu terakhir. Air setinggi hingga tiga meter menggenangi puluhan Kecamatan di Kabupaten Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kolaka Timur. Sedikitnya sekitar keluarga terdampak akibat banjir terparah yang pernah melanda wilayah Sultra beberapa tahun lalu, Husna mengungkapkan, telah menjabarkan kondisi ini kepada banyak pihak. Ia yang rutin melakukan penelitian, kaget dengan perubahan hutan yang begitu cepat 2011, ia melakukan penelitian di bagian hulu Langgikima, Kabupaten Konawe Utara. Sebagian besar pohon di wilayah itu telah habis berganti perkebunan kelapa sawit. Padahal, dua tahun sebelumnya lokasi tersebut masih merupakan hutan dengan tutupan pohon yang rimbun. Wilayah Kecamatan Langgikima adalah wilayah yang terdampak banjir parah, dan hingga saat ini masih yang masif juga membuat hutan benar-benar habis. Sedikitnya ada sekitar 300 perusahaan tambang yang beroperasi di seluruh wilayah Sultra. Menurut Husna, vegetasi di wilayah Konawe, Konawe Selatan, juga Kolaka, semakin kritis karena aktivitas tambang maupun perkebunan kelapa RIJAL YUNUS Pengendara menaikkan kendaraan roda empat ke atas truk untuk melintasi jalan yang tergenang air di Desa Hongua, Kecamatan Pondidaha, Kabupaten Konawe, Sabtu 15/6/2019. Selain membuat jalur transportasi lumpuh, banjir yang merendam empat kabupaten di Sultra juga membuat keluarga terdampak.“Meski harus diteliti lebih lanjut lagi, saya menduga sekitar 70 persen tutupan hutan kita sudah habis karena alih fungsi lahan akibat pertambangan maupun perkebunan skala besar. Lahan kritis di Sultra mencapai hektar berdasar data 2012 lalu,” ucapnya. Luas lahan kritis ini menyumbang sekitar sepertiga dari total luas lahan kritis di Sulawesi yang mencapai 2,7 juta itu, lanjutnya, pemerintah harus mengambil langkah penanganan menyeluruh terkait kondisi lingkungan saat ini. Sejak 2011 lalu, ia yang mengetuai tim penelitian dari tiga kementerian, telah merekomendasikan untuk benar-benar menjadikan Analisis Dampak Lingkungan sebagai pijakan utama. Perbaikan tata ruang Dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lahan. Selain itu, revegetasi oleh industri pertambangan maupun perkebunan harus benar-benar dilakukan. Sebab, jika tidak, ucap Husna, bencana lebih besar bisa saja melanda wilayah Sultra di kemudian hari. “Masyarakat yang akan menanggung akibat dari kerusakan lingkungan seperti sekarang. Mereka menderita secara sosial, ekonomi, juga trauma.”Masyarakat yang akan menanggung akibat dari kerusakan lingkungan seperti sekarang. Mereka menderita secara sosial, ekonomi, juga traumaKerusakan lingkungan akibat industri dan perkebunan yang masif memang telah mengubah wilayah sejumlah daerah di Sultra. Data Wahana Lingkungan Hidup Sultra, sejak 2001 sampai 2017, wilayah Konawe Utara kehilangan hektar tutupan pohon. Dalam kurun yang sama, pertambangan dan sawit juga mengubah hutan primer seluas 954 hektare dan hutan alam lingkungan tidak hanya terjadi di hulu. Sebab, daerah DAS juga dalam kondisi kritis akibat sedimentasi dan lumpur. Akibatnya, saat aliran air dari hulu melimpah, air dengan cepat menggenangi wilayah hilir akibat air tidak mampu tertampung sungai yang dangkal. Pengungsi meninggalKOMPAS/SAIFUL RIJAL YUNUS Seorang balita sakit di posko pengungsian SMA 1 Pondidaha, Kabupaten Konawe, Jumat 14/6/2019. Banjir parah merendam empat kabupaten di wilayah Sulawesi Tenggara, yang berdampak ke sekitar Minggu siang, banjir masih merendam sejumlah wilayah di empat kabupaten di wilayah Sultra. Ribuan warga masih mengungsi, atau bertahan di rumah yang terendam air dengan ketinggian hingga 1 meter. Jalur transportasi juga masih lumpuh karena sejumlah jembatan belum bisa dilalui, serta jalan terendam air hingga ketinggian 1,5 meter. Sejumlah wilayah di Kabupaten Konawe Utara masih terisolir dan belum bisa dicapai dengan jalur Kabupaten Konawe, kondisi banjir pada Minggu tidak berbeda jauh dengan hari sebelumnya. Ketinggian air yang mancapai lebih dari satu meter juga masih menutupi jalan Trans-Sulawesi yang menghubungkan Kota Kendari dengan Kabupaten Konawe, tepatnya di Kecamatan orang pengungsi yang sebelumnya menginap di posko pengungsian SMA 1 Pondidaha dilaporkan meninggal dunia di waktu yang tidak jauh berbeda. Seorang bayi berumur empat hari meninggal setelah dirujuk ke rumah sakit Konawe, sementara seorang pria bernama Daeng Situju 50 meninggal di RS Abu Nawas, Kepala BPBD Konawe membenarkan adanya dua pengungsi yang meninggal dunia. “Yang bapak-bapak informasinya meninggal karena sebelumnya memang telah sakit. Yang bayi itu mungkin karena kedinginan. Saya masih menunggu laporan lengkap dari teman-teman,” menyebutkan, pihaknya bersama tim SAR, pemda, dan sejumlah instansi lainnya, berusaha memenuhi semua kebutuhan pengungsi. Akan tetapi, karena tingginya kondisi air, penanganan belum bisa optimal. Sejauh ini, banjir masih menggenangi jalan dan ribuan rumah warga. Banjir belum juga surut meski telah berlangsung hampir 10 hari di wilayah RIJAL YUNUS Sebagian wilayah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara yang terendam banjir seperti terlihat Kamis 13/6/2019. Sekitar keluarga terdampak banjir yang merendam empat kabupaten di wilayah Sultra.Alihfungsi hutan; Kawasan hutan yang terbakar membutuhkan waktu yang lama untuk kembali menjadi hutan. Bahkan sering kali hutan mengalami perubahan peruntukan menjadi perkebunan atau padang ilalang. Penurunan kualitas air; Salah satu fungsi ekologis hutan adalah dalam daur hidrologis. Terbakarnya hutan memberikan dampak hilangnya
Laju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air pada berbagai tipe penggunaan lahan. Kata kunci alih fungsi, debit sungai, erosi, sedimentasi dan teknik konservasi Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 1031 Staf Peneliti Balai Penelitian Kehutanan MataramALIH FUNGSI KONVERSI KAWASAN HUTAN INDONESIA TINJAUAN ASPEK HIDROLOGI DAN KONSERVASI TANAHOleh 1Budi Hadi NarendraABSTRAKLaju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air pada berbagai tipe penggunaan kunci alih fungsi, debit sungai, erosi, sedimentasi dan teknik konservasiI. PENDAHULUANHutan tropis termasuk sumberdaya alam terpenting di dunia. Luasnya hanya 30% permukaan bumi namun merupakan wadah utama bagi keanekaragaman hayati WWF, 2003. Keberadaan hutan tropis Indonesia telah dikenal sebagai salah satu paru-paru dunia yang manfaatnya tidak hanya dirasakan di dalam negeri namun telah diakui di skala global. Selain itu daratan Indonesia yang luasnya hanya 1,3% daratan bumi namun hutannya dikenal memiliki keragaman jenis flora dan fauna terbanyak. Dari total spesies mahluk hidup di dunia, hutan Indonesia memiliki 11 persen spesies tumbuhan, 10 persen spesies mamalia, dan 16 persen spesies burung di dunia. Namun seiring perkembangan waktu, luas tutupan hutan di Indonesia kian hari kian mencemaskan diantaranya disebabkan oleh alih fungsi kawasan fungsi atau konversi kawasan hutan telah sering terjadi di Indonesia. Berbagai faktor yang mendasari terjadinya alih fungsi hutan ini seperti kegiatan ekonomi, pengembangan wilayah, dan dampak kegiatan illegal loging dan kebakaran hutan. Berbagai dampak dari alih fungsi hutan ini dapat dikategorikan pada dampak hidrologi, erosi dan 104Prosiding Fungsi Kawasan Hutansedimentasi, kebakaran, kepunahan flora dan fauna, dan dampak terhadap sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Makalah ini mengulas keadaan tutupan hutan Indonesia hubungannya dengan adanya alih fungsi hutan, dan akibat yang dapat ditimbulkan jika alih fungsi hutan dilakukan tidak secara seksama ditinjau dari aspek hidrologi dan konservasi tanah. Contoh-contoh kasus yang ditampilkan adalah berdasar hasil penelitian di dalam dan luar negeri yang memiliki tipe tutupan hutan seperti di Indonesia. Pada bagian akhir akan disajikan tindakan yang perlu dilakukan dalam meminimalkan dampak, jika keputusan alih fungsi hutan sudah tidak bisa dihindarkan TUTUPAN HUTAN INDONESIAPemerintah melalui lembaga kehutanan pada tahun 1950 pernah merilis peta vegetasi yang berisi informasi bahwa sekitar 84 persen luas daratan Indonesia hektar tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Peta tersebut juga menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut, Kalimantan memiliki areal hutan seluas hektar, Irian Jaya hektar, Sumatera hektar, Sulawesi hektar, Maluku hektar, Jawa hektar serta terakhir Bali dan Nusa Tenggara seluas hektar WRI, 2002.Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. World Resource Institute menyatakan hingga saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Pada periode 1997–2000, ditemukan fakta baru bahwa penyusutan hutan meningkat menjadi 2,8 juta hektar per tahun, dua kali lebih cepat dibandingkan tahun 1980. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 menunjukkan berdasarkan hasil penafsiran citra satelit Landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, di antaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan tahun 2003, data dari Departemen Kehutanan menunjukkan tutupan hutan hanya sekitar 94 juta hektar atau sekitar setengah dari total luas lahan di Indonesia. Sedangkan analisis FAO Food and Agricultural Organisation mengatakan bahwa tutupan hutan Indonesia pada tahun 2005 hanya sekitar 88,5 juta hektar atau sekitar 48,8% dari total luas lahan dan 46,5% dari total luas wilayah. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup KLH pada tahun 2007 melakukan interpretasi citra satelit Landsat 7 ETM+, dengan menggunakan data perekaman citra satelit 105Alih Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendratahun 2004 – 2006 yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005. Hasilnya menunjukan bahwa tutupan hutan seluruh wilayah Indonesia berkurang menjadi sekitar 83 juta ALIH FUNGSI KAWASAN HUTAN INDONESIAKondisi hutan Indonesia yang diindikasikan dari luas penutupannya menunjukkan gambaran yang makin memprihatinkan, sejalan dengan konversi dan eksploitasi yang telah dilakukan. Dari data luasan tersebut di atas, tercatat data laju kerusakan hutan Indonesia dalam kurun waktu 1997-2000 yang dikeluarkan Departemen Kehutanan adalah 2,83 juta ha per tahun. Pada tahun 2007, dalam buku laporan State of the World's Forests FAO, Indonesia telah berada dalam urutan ke-8 negara dengan luas hutan alam terbesar di dunia. Dengan laju kerusakan hutan 1,87 juta ha per tahun dalam kurun waktu 2000 – 2005, menempatkan Indonesia sebagai negara urutan ke-2 dengan laju kerusakan hutan tertinggi dunia. Analisis yang dilakukan FWI dalam kurun waktu 1989 – 2003 menunjukkan bahwa tutupan hutan Indonesia telah mengalami perubahan akibat dari penurunan kualitas hutan degradasi 4,6 juta ha/tahun dan kehilangan tutupan hutan deforestasi sekitar 1,99 juta ha/tahun ISAI, 2007.Deforestasi merupakan salah satu faktor utama yang banyak dijumpai sebagai penyebab terjadinya perubahan fungsi ekologis pada hutan tropis Lambin, 1994. Secara umum deforestasi didefinisikan sebagai penurununan kualitas degradasi kawasan hutan, sedangkan secara sempit diartikan sebagai berubahnya fungsi alih fungsi kawasan hutan Wunder, 2000. Banyak hal yang mempengaruhi berkurangnya atau menurunnya kualitas tutupan hutan Indonesia. Lambin dan Helmut 2001 membagi penyebab deforestasi menjadi 3 kelompok yaitu penyebab langsung, penyebab dasar, dan penyebab biofisik. Penyebab langsung merupakan aktifitas manusia yang secara langsung mempengaruhi kondisi tutupan hutan dan fungsinya seperti exploitasi kayu, perluasan areal pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, dan sebagainya. Penyebab dasar biasanya berupa faktor yang komplek seperti faktor social, politik, ekonomi, budaya, dan kependudukan. Penyebab biofisik yang kebanyakan berasal dari faktor Indonesia, alih fungsi kawasan hutan merupakan dampak langsung maupun tidak langsung dari perkembangan industri perkayuan, pemberian ijin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK pada hutan alam HA maupun hutan tanaman HT, ijin pemanfaatan kayu IPK, pelepasan kawasan untuk perkebunan, pertambangan, dan pemekaran 106Prosiding Fungsi Kawasan Hutanwilayah, serta maraknya pembalakan liar illegal logging dan kebakaran besar-besaran dalam industri kayu lapis dan industri pulp dan kertas selama 20 tahun terakhir menyebabkan permintaan terhadap bahan baku kayu pada saat ini jauh melebihi pasokan legal. Kesenjangannya mencapai 40 juta meter kubik setiap tahun. Banyak industri pengolahan kayu yang mengakui ketergantungan mereka pada kayu illegal, jumlahnya mencapai 65 persen dari pasokan total pada 2000 ISAI, 2007. Pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI dan sistem konversi hutan menjadi perkebunan menyebabkan deforestasi bertambah luas. Banyak pengusaha mengajukan permohonan izin pembangunan HTI dan perkebunan hanya sebagai dalih untuk mendapatkan keuntungan besar dari Izin Pemanfaatan Kayu IPK pada areal hutan alam yang dikonversi. Setelah itu mereka tidak melakukan penanaman kembali, yang menyebabkan jutaan hektar lahan menjadi terlantar. Disamping itu, beberapa perusahaan perkebunan dan HTI sering melakukan pembakaran untuk pembersihan lahan, yang merupakan sumber utama bencana kebakaran hutan di catatan pada masa pendudukan Belanda, pada tahun 1939 perkebunan skala besar yang dieksploitasi luasnya mencapai 2,5 juta hektar dan hanya 1,2 juta hektar yang ditanami. Hingga tahun 1950-an luasan ini tidak banyak berubah. Sampai dengan tahun 1969 luasan hutan yang dialihfungsikan telah mencapai 4,6 juta hektar. Sebagian besar lahan hutan itu berubah menjadi perkebunan dan sebagian besar adalah untuk kepentingan pertanian, terutama untuk budidaya padi WRI, 2002.Hingga kini desakan untuk perluasan kebun sawit makin kuat. Minyak sawit mentah CPO menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Wilayah Sumatera dan Kalimantan merupakan wilayah utama pengembangan kelapa sawit. Pada tahun 2003, dari kurang lebih 5,25 juta ha lahan yang dialokasikan untuk kelapa sawit, sekitar 19 % ada di Kalimantan dan 72% di Sumatera. Perluasan areal tanaman ini dimulai sejak investasi asing dibuka kembali pada tahun 1967 dan mulai meningkat kejayaannya pada tahun 1990-an. Dari luas ha pada tahun 1967, areal perkebunan kelapa sawit berkembang menjadi 5,59 juta ha pada tahun 2005. Diprediksi perluasan perkebunan kelapa sawit masih akan terus dilakukan sampai 13,8 juta ha pada tahun 2020 FWI, 2008. Menurut beberapa kajian, hampir semua perkebunan kelapa sawit berasal dari kegiatan konversi hutan produksi. Dengan prosedur untuk memperoleh lahan hutan yang relatif mudah, maka perusahaan dapat menebang habis serta menjual kayunya sebagai bisnis sampingan yang cukup menguntungkan, di luar keuntungan hasil panen kelapa sawit di masa yang akan datang. Sayangnya, masih ada juga perusahaan nakal yang 107hanya tertarik untuk mengambil kayu daripada menanam kelapa sawit pada wilayah konsesinya, bahkan ada diantaranya yang tidak pernah mempunyai keinginan untuk membangun perkebunan kelapa sawit, tetapi hanya mengejar ijin konversi untuk memperoleh keuntungan dari kayu yang didapatkan dari kegiatan pembukaan lahan land clearing.Sektor pertambangan juga turut andil dalam alih fungsi kawasan hutan. Hingga 2006, ijin yang dikeluarkan Departemen ESDM terdapat sekitar ijin dengan total luas konsesi sekitar 28,27 juta ha. Dari total jumlah ijin yang dikeluarkan, ada 150 diantaranya berada di kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas lebih dari 11 juta ha FWI, 2008. Dampak dari kegiatan pertambangan diyakini memiliki daya rusak yang sangat sulit dipulihkan. Kerusakan lingkungan, konflik horisontal dan pemiskinan menjadi fakta yang sering kita jumpai di lapangan. Ancaman alih fungsi kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi datang juga dari pertambangan minyak dan gas bumi. Hingga tahun 2006, pemerintah melalui Departemen ESDM sudah mengeluarkan ijin 202 blok migas. Dari jumlah tersebut sebanyak 68 blok sekitar 1,8 juta ha menempati kawasan konservasi seperti Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata Alam, dan Taman Hutan tindakan anarki, dan lemahnya penegakan hukum berkembang menjadi faktor utama meningkatnya pembalakan ilegal, dan penggundulan dan kebakaran hutan. Pencurian kayu bahkan marak terjadi di kawasan konservasi, misalnya di Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah dan di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Aceh. Hal serupa terjadi di hutan Sekotong dan Sesaot di Lombok Barat yang merupakan penyangga kebutuhan air masyarakat Lombok. Kini kondisinya makin memprihatinkan, bahkan terancam menuju proses penggurunan Suhaili, 2007.IV. DAMPAK ALIH FUNGSI KAWASAN TERHADAP FUNGSI HIDROLOGISAlih fungsi kawasan hutan menjadi peruntukan lainnya diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun bila tidak dicermati dan dipertimbangkan secara matang dari aspek lingkungan, ekologi, hukum, sosial, ekonomi dan budaya, maka alih fungsi tersebut akan menimbulkan dampak negatif baik secara lokal maupun dalam skala luas. Dalam alih fungsi ini hendaknya tetap dijaga adanya keseimbangan antara fungsi sumber daya hutan sebagai komponen ekologi dan fungsi hutan lainnya sebagai komponen ekonomi. Berbagai bencana yang sering kita dengar Alih Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra 108Prosiding Fungsi Kawasan Hutanseperti banjir, kekeringan, longsor, kebakaran hutan, pencemaran, serangan binatang buas, kepunahan flora dan fauna, konflik antar warga diantaranya disebabkan kurang cermatnya penetapan alih fungsi kawasan hutan dan pelaksanaan yang kurang memperhatikan aspek konservasi, terutama pada kawasan hutan yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai hutan lindung atau hutan data WWF Indonesia, telah terjadi konversi lahan secara drastis di hutan Balai Raja yang pada tahun 1986 dengan tutupan hutan sekitar hektar ditetapkan sebagai suaka margasatwa bagi habitat gajah dan harimau sumatera, namun pada tahun 2005 luasannya hanya tinggal 260 hektar. Penurunan jumlah luasan ini turut andil dalam penurunan jumlah secara drastis jenis satwa yang dilindungi tersebut. Dalam tujuh tahun terakhir populasi gajah sumatera berkurang dari sekitar 700 ekor menjadi 350 ekor. Selain itu dilaporkan gajah merusak kebun dan rumah warga maupun harimau yang menyerang ternak dan manusia Foead, 2006.Dari sisi hidrologi telah banyak kajian dan penelitian yang menerangkan bahwa secara umum perubahan fungsi hutan terutama hutan tropis akan berpengaruh terhadap komponen hidrologi seperti curah hujan, total debit tahunan, distribusi musiman aliran sungai, erosi dan sedimentasi. Perubahan fungsi kawasan hutan menjadi penggunaan lainnya, baik sebagian atau secara total akan merubah respon yang diberikan lahan terhadap masukan input curah hujan. Dampak nyata yang dapat dirasakan diantaranya berupa- berkurangnya curah hujan suatu wilayah yang luasan tutupan hutannya berkurang secara signifikan- meningkatnya debit puncak aliran sungai dibandingkan kondisi sebelum hutan dialihfungsikan, meskipun dengan kondisi curah hujan yang relatif tetap. Hal ini merupakan salah satu pemicu terjadinya banjir- Terjadinya kekeringan atau menurunnya debit sungai saat musim kemarau dibandingkan kondisi awal sebelum hutan dikonversi- Meningkatnya erosi dan sedimentasi- Meningkatnya frekuensi kejadian longsor terutama longsor dangkal shallow slidePara ahli menyatakan bahwa hutan tropis, jika dibandingkan dengan penggunaan lahan lain seperti areal pertanian maupun peternakan, menghasilkan evapotranspirasi yang lebih tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya kelembaban atmosfir sehingga peluang terbentuknya awan dan hujan makin besar. Untuk kawasan Asia Tenggara, konversi hutan secara total menjadi semak atau padang rumput akan menurunkan curah hujan rata-rata sebanyak 8%. Namun beberapa ahli 109menyatakan untuk daerah yang lebih banyak dipengaruhi oleh iklim laut, perubahan tutupan hutan efeknya tidak sebesar efek perubahan suhu permukaan air laut Bruijnzeel, 2004.Di masa lalu, fungsi hidrologis hutan sempat menjadi topik diskusi yang hangat. Kelompok pertama yang berpegang pada teori spon sponge theory menyatakan bahwa hutan melalui akar pohon, seresah, dan tanah mampu menyimpan air hujan dan melepaskannya secara perlahan. Kelompok lain pemegang teori infiltrasi menyatakan bahwa tata air di hutan lebih banyak dipengaruhi oleh komponen geologis berupa tipe batuan atau tanah hutan, dibandingkan dengan ada atau tidak adanya tutupan hutan. Sedangkan kelompok yang netral lebih menekankan fungsi hutan dalam mencegah erosi dan banjir. Kini para ahli lebih memandang akar pepohonan lebih sesuai sebagai ”pompa air” dibandingkan sebagai spon, dan di musim kemarau akar tidak melepaskan air ke tanah tetapi melepas air ke udara dalam proses transpirasi. Mereka juga menyatakan bahwa banjir terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan kapasitas penyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke aliran sungai Hamilton dan King, 1983. Dengan kata lain kejadian banjir tidak semata-mata hanya dipengaruhi kondisi penutupan lahan, tetapi juga tergantung faktor iklim dan proses pengkonversian tutupan hutan, fungsi ”spon” pada hutan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Efek yang dihasilkan perlu dipisahkan antara total hasil air tahunan dengan distribusi debit air musiman atau bulanan. Dengan berkurangnya tutupan hutan, hasil air tahunan cenderung meningkat karena tidak ada atau berkurangnya jumlah air yang dilepaskan melalui transpirasi. Jika tutupan hutan yang dikonversi tidak terlalu besar, jumlah air yang disimpan masih dapat dilepaskan sepanjang tahun secara kontinyu sebagai aliran dasar. Sebaliknya, jika hutan dikonversi secara besar-besaran atau secara total, jumlah air yang tersimpan sebagai air tanah sangat minim jumlahnya sehingga pada saat musim kemarau suplai air ke alur sungai atau mata air sangat penelitian telah menghasilkan kesimpulan yang men-dukung pernyataan di atas. Penelitian dengan keakuratan tinggi dilakukan melalui pengamatan terhadap sub DAS yang berpasangan. Dengan cara ini kesalahan akibat perbedaan kondisi iklim dan lahan dapat diminimalisir hingga 33°, sedangkan pada hutan dengan penutupan vegetasi yang masih baik, peristiwa ini jarang terjadi. Untuk longsoran yang lebih dalam > 3m, kejadiannya lebih banyak dikontrol oleh faktor geologi, topografi, dan iklim Bruijnzeel, 2004.VI. TINDAKAN MEMINIMALKAN DAMPAK ALIH FUNGSI HUTANAlih fungsi kawasan hutan pada masa sekarang sudah sulit untuk dihindarkan. Jika alih fungsi kawasan hutan sudah tidak dapat dihindari, tindakan yang perlu diambil adalah menjaga agar alih fungsi tersebut tidak sampai menimbulkan kerusakan drastis pada tatanan proses hidrologis atau menekan seminimal mungkin dampak yang ditimbulkan khususnya pada aspek hidrologi dan konservasi tanah. Caranya adalah dengan menjaga agar proses infiltrasi air hujan tetap terwadahi sehingga limpasan permukaan dapat ditekan melalui tindakan konservasi tanah dan aplikasi teknik-teknik pemanenan air. Tindakan ini dapat diaplikasi-kan pada setiap jenis penggunaan lahan yang mengantikan penutupan hutan. Namun perlu diperhatikan bahwa perananan hutan alam secara keseluruhan tidak dapat digantikan secara utuh oleh tipe penutupan lahan lahan kegiatan pertanian, telah banyak contoh teknik konservasi tanah yang dapat diaplikasikan dengan tujuan meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah dan mengurangi erosi, seperti pembuatan teras, rorak, Alih Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra 114Prosiding Fungsi Kawasan Hutanaplikasi mulsa, tanaman penutup tanah cover crop, penerarapan sistem agroforestry, pertanaman lorong alley cropping, multi strata tajuk. Dengan cara-cara ini diharapkan limpasan permukaan dapat ditekan, kesempatan infiltrasi tanah tetap terjaga, dan distribusi debit aliran dapat berkesinambungan meski memasuki musim kemarau. Bahkan hasil eksperimen yang dilakukan Edwards 1979 di Tanzania seperti tampak pada Gambar 2 menunjukkan adanya peningkatan debit bulanan yang dihasilkan daerah tangkapan air setelah tutupan hutan dialihfungsikan menjadi lahan pertanian tanaman semusim disertai dengan penerapan teknik konservasi tanah. Dengan cara ini air hujan secara optimal tersimpan sebagai air tanah dan total volume air dalam setahun juga meningkat karena berkurangnya evapotranspirasi sehubungan dengan konversi 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11BulanDebit aliran mm/bulanHutanPertanian+konservasiGambar 2. Distribusi debit aliran bulanan sebelum dan setelah alih fungsi kawasan hutan menjadi areal pertanian disertai tindakan konservasi di TanzaniaDemikian pula pada alih fungsi hutan menjadi pemukiman, dan infrastruktur penunjangnya seperti jaringan jalan, upaya pemanenan air melalui pembuatan sumur resapan dan parit jebakan dapat membantu mengurangi aliran permukaan dan erosi. Pada alih fungsi hutan untuk kegiatan penambangan, perlu diawasi agar tiap aspek kegiatan penambangan dilakukan secara ramah lingkungan. Pencemaran tanah dan tubuh perairan oleh zat berbahaya harus dicegah. Selain itu perlu terus dikembangkan upaya-upaya untuk mempercepat proses revegetasi 115pasca penambangan terutama pada tanah-tanah miskin hara, tercemar bahan kimia, atau mengandung logam berat yang menjadi faktor pembatas kemampuan hidup pengalihan fungsi hutan alam menjadi hutan tanaman atau perkebunan, pemilihan jenis tanaman merupakan salah satu faktor vital yang menentukan besarnya perubahan tata air. Namun belum banyak hasil penelitian tentang hal tersebut pada lokasi dan jenis yang spesifik. Untuk penanaman di lokasi bercurah hujan tinggi, pemilihan jenis-jenis ini tidak akan terasa dampaknya terhadap pengurangan debit air di musim kemarau. Namun di daerah yang jumlah curah hujannya sedang atau minim, jenis-jenis ini akan menjadi kompetitor bagi pengguna air lainnya khususnya di musim kemarau. Untuk erosi dan sedimentasi yang terutama terjadi pada tahap awal pembangunan hutan tanaman dapat diminimalisir dengan penerapan sistem agroforestry, penggunaan mulsa atau tanaman penutup tanah rendah dari jenis legum. Jenis legum telah terbukti memiliki kemampuan lebih dalam menjaga dan memperbaiki kondisi fisika dan kimia tanah, serta memiliki berbagai manfaat lain seperti penyuplai pakan ternak maupun kayu KESIMPULANLaju pengurangan luas tutupan hutan Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pada aspek hidrologi dan konservasi tanah, alih fungsi hutan yang tidak dilakukan secara cermat akan membawa dampak negatif berupa melonjaknya debit puncak aliran sungai, terganggunya distribusi debit bulanan, erosi dan sedimentasi. Untuk meminimalkan dampak ini, pada alih fungsi hutan yang sudah tidak dapat dihindarkan lagi, perlu dilakukan penerapan teknik-teknik konservasi tanah dan pemanenan air pada berbagai tipe penggunaan lahan .DAFTAR PUSTAKABlackie, 1979. The water balance of the Kimakia catchments. E. Afr. Agric. For. J. 43, pp. 155–174. dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– 1990. Hydrology of Moist Tropical Forest and Effects of Conversion A State of Knowledge Review. UNESCO, Paris, and Vrije Universiteit, Amsterdam, The Netherlands, 226 Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra 116Prosiding Fungsi Kawasan HutanBruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– E., Kucera, J. and Malmer, A., 2000. Tree sap flow and stand transpiration of two Acacia mangium plantations in Sabah, Borneo. J. Hydrol. 236, pp. 109– 1979. The water balance of the Mbeya experimental catchments. E. Afr. Agric. For. J. 43, pp. 231– N. 2006. Konversi Hutan Alam Ancam Habitat. Harian Kompas 11 Maret 2006. Diakses tanggal 27 Juli Syed Sofi, Tan. 1983. A lysimetric simulation of leaching losses from an oil palm field. Proceedings of the Seminar on Fertilizers in Malaysian Agriculture. Malaysian Society of Soil Science, Kuala Lumpur, pp. 45–68 dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– Forest Watch Indonesia. 2008. Perkembangan Tutupan Hutan Indonesia. Diakses tanggal 27 Juli dan 1983. Tropical Forested Watersheds. Hydrologic and Soils Response to Major Uses or Conversions. Westview Press, Boulder, CO, p. 168. dalam Bruijnzeel, 2004 Bruijnzeel, Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees?, Agric. Ecos. Env. 104 2004.Harto, dan A. Kondoh. 1998. The effect of land use changes on the water balance in the Ciliwung-Cisadane catchment, West Java, Indonesia. Prosiding the International Symposium on Hydrology, Water Resources and Environment, Development and Management in Southeast Asia and the Pacific, Taegu, Republic of Korea, November 10–13, 1998. ROSTSEA/UNESCO, Jakarta, pp. 121– 2007. Potret Buram Hutan Indonesia. Diakses tanggal 27 Juli 1994. Modeling deforestation processes a review Research report. No. 1 TREES Series B. 115 p. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. ITC-Netherlands. Lambin, dan J. Helmut. 2001. What Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. A. dan Bruijnzeel. 1991. Erosion, sediment yield and land use patterns in the upper Konto watershed, East Java, Indonesia. Konto River Project Communication, vol. 3. Konto River Project, Malang, Indonesia, 150 J. and Rosier. 1993. Physiological studies in young Eucalyptus stands in southern India and derived estimates of forest transpiration. Agric. Water Manage. 24, pp. 103– L. 2007. Hutan Sekotong Terancam Menjadi Gurun. Harian Suara NTB tanggal 13 Januari 1994. Hydrological Conditions in Indonesia. Delft Hydraulics, Jakarta, Indonesia, p. dan 2004. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian apakah fungsi hidrologis hutan dapat digantikan system k o p i m o n o k u l t u r ? A G R I V I T A 2 6 1 4 7 - 5 2 . Diakses tanggal 15 Juli 1984. Surface erosion under various tropical agroforestry systems. IUFRO, Vienna, pp. 231–239. dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. 185– World Resource Institute. 2002. State of the Forest Indonesia. Diakses tanggal 28 Juli S. 2000. The economics of deforestation. St. Antony's Series ed. Great Britain. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. W F. 2003 . W W F 's Appro a c h t o F or est Co n s er vati o n . Diakses tanggal 15 Juli Fungsi Konservasi .......... Budi Hadi Narendra ... konversi Setiawan et al. 2016;Prabowo et al. 2017, eksploitasi yang berlebihan Narendra 2009;Maryudi 2015a, pembalakan liar Maryudi 2016, konflik tenurial Maryudi & Krott 2012;Maryudi et al. 2016, dan desentralisasi Barr et et al. 2016a;Sahide et al. 2016b. ...Diindikasikan bahwa tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia ada kaitannya dengan tingkat korupsi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tipologi dan kerawanan korupsi sektor kehutanan di Indonesia. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2015, sebanyak 39 pelaku korupsi sektor kehutanan yang terdiri dari anggota DPR, pejabat Kementerian Kehutanan, Kepala Daerah Gubernur/Bupati/Kepala Dinas serta pengusaha, telah diproses hukum dan mendapatkan vonis dari pengadilan. Terdapat 6 enam tipologi korupsi sektor kehutanan di Indonesia yaitu 1 korupsi transaksional, 2 pemerasan, 3 investasi untuk korupsi, 4 nepotisme, 5 korupsi untuk bertahan, dan 6 korupsi untuk mendapatkan dukungan. Penelitian ini menemukan 4 bentuk kerawanan korupsi sektor kehutanan yaitu 1 proses perijinan, 2 pengawasan 3 proses tata ruang kehutanan, dan 4 pengadaan barang dan jasa kunci deforestasi; kehutanan Indonesia; kerawanan korupsi; korupsi; tipologi korupsi The Typology and Corruption Susceptibility in Forestry Sector in IndonesiaAbstractIt is widely indicated that the high rates of deforestation in Indonesia are closely linked with the high corruption. This research aimed to identify the typologies and the potential of occurence of corruption in the forest sector in Indonesia. From 2001 to 2015, thirty nine corruptors have been brought to the courts and eventually sentenced. They included parliament members, high-rank forest officials, local government Governor/Mayor/Chief of District Forest Service, and business persons. This research found six typologies of corruption in the forest sector in Indonesia, 1 transactive corruption, 2 extortive corruption, 3 investive corruption, 4 nepotistic corruption, 5 defensive corruption, and 6 supportive corruption. It also identified four forest activities that potentially encourage corruption, 1 licensing, 2 monitoring, 3 spatial planning, and 4 public Infuence of landuse change causes change of the condition of flow discharge. However, the impact of this landuse change is that the rainfall has more potential to be overland flow than infiltration. The aims of this research are 1 to assess the patterns of rainfall of 2000, 2005, 2010 and 2014; 2 to assess the land use changes of 2000, 2005, 2010 and 2014; 3 to analyze the design discharge under land use predictions of 2028; and 4 to arrange land use planning that the peak discharge less than peak discharge of Karian Dam. Data were analysed by grid interpolation, Rational, CA-Markov. The results showed that land use of 2000–2014 change from forest to agriculture dry land area about km2, from dry land farming to rice field area about km2, from dry land agriculture to plantation area about km2 and forests to plantations about km2. The total area of land uses change of km2 but the land use type which remain as existing land uses are km2 Flood discharge predictions is not eligible for the best land use pattern because it exceeded the design of flood discharge of Karian Dam. The actual flood discharge is still qualify, flood discharge based on Spatial Pattern and scenarios four to synchronize the flood discharge based on Spatial Pattern is qualify for the best land use pattern. scenarios four for spatial pattern is the best land use planning to be applied that are regarded as the reference of land use in Ciberang watershed Lebak Regency of 2014-2034. L. Adrian BruijnzeelDiffering perceptions of the impacts on hydrological functions of tropical forest clearance and conversion to other land uses have given rise to growing and often heated debate about directions of public environmental policy in southeast Asia. In order to help bring more balance and clarity to such debate, this paper reviews a wide range of available scientific evidence with respect to the influence exerted by the presence or absence of a good forest cover on regional climate rainfall, total and seasonal water yield floods, low flows, as well as on different forms of erosion and catchment sediment yield under humid tropical conditions in general and in southeast Asia in particular. It is concluded that effects of forest disturbance and conversion on rainfall will be smaller than the average decrease of 8% predicted for a complete conversion to grassland in southeast Asia because the radiative properties of secondary regrowth quickly resemble those of the original forest again. In addition, under the prevailing 'maritime' climatic conditions, effects of land-cover change on climate can be expected to be less pronounced than those of changes in sea-surface temperatures. Total annual water yield is seen to increase with the percentage of forest biomass removed, with maximum gains in water yield upon total clearing. Actual amounts differ between sites and years due to differences in rainfall and degree of surface disturbance. As long as surface disturbance remains limited, the bulk of the annual increase in water yield occurs as baseflow low flows, but often rainfall infiltration opportunities are reduced to the extent that groundwater reserves are replenished insufficiently during the rainy season, with strong declines in dry season flows as a result. Although reforestation and soil conservation measures are capable of reducing the enhanced peak flows and stormflows associated with soil degradation, no well-documented case exists where this has also produced a corresponding increase in low flows. To some extent this will reflect the higher water use of the newly planted trees but it cannot be ruled out that soil water storage opportunities may have declined too much as a result of soil erosion during the post-clearing phase for remediation to have a net positive effect. A good plant cover is generally capable of preventing surface erosion and, in the case of a well-developed tree cover, shallow landsliding as well, but more deep-seated >3 m slides are determined rather by geological and climatic factors. A survey of over 60 catchment sediment yield studies from southeast Asia demonstrates the very considerable effects of such common forest disturbances as selective logging and clearing for agriculture or plantations, and, above all, urbanisation, mining and road construction. The 'low flow problem' is identified as the single most important 'watershed' issue requiring further research, along with the evaluation of the time lag between upland soil conservation measures and any resulting changes in sediment yield at increasingly large distances downstream. It is recommended to conduct such future work within the context of the traditional paired catchment approach, complemented with process-based measuring and modelling techniques. Finally, more attention should be paid to the underlying geological * Tel. controls of catchment hydrological behaviour when analysing the effect of land use change on low flows or sediment use of Acacia mangium trees grown in plantations was measured by a heat balance method in two stands that largely differed in tree density. Tree sap flow was closely coupled to climatic drivers and responded with minimal time delay. Using no time shift, sap flow rate could be tightly fitted to a simple equation that combined a parabolic response to radiation and an inverse linear response to air humidity. On the contrary, the analysis of canopy conductance showed no meaningful response to either individual or combined microclimatic variables. No indication of water deficit was observed, though the measurement period was during the dry period of the year. The measurements indicate a minimal diurnal use of water stored in plant tissues. The difference in tree water use from the two studied stands was effectively scaled by tree sapwood area. Canopy transpiration of the densest stand reached in average mm d−1 compared with mm d−1 for the stand representing the average conditions in the of stomatal conductance gs, leaf water potential Ψ1 and leaf area index L∗ were made in plantations of Eucalyptus camaldulensis and E. tereticornis at Puradal, near Shimoga, Karnataka, southern India during 1988 and 1989. The data were collected in a range of climatic conditions immediately following the establishment of the differences between the two species were small and largely confined to for both species showed a similar pattern of behaviour in relation to the availability of soil moisture and the onset of the variables and above-canopy meteorological data were combined an a multi-layer formulation to calculate hourly transpiration from the two species. Transpiration rates varied from mmd−1 for the post-monsoon period to mmd−1 prior to the onset of the monsoon for trees less than 1-year-old to mmd−1 and mmd−1, respectively, for the same climatic periods when the trees were 2 years of functions of tropical forests not seeing the soil for the trees?S F FoongS O Syed SofiP Y TanFoong, Syed Sofi, Tan. 1983. A lysimetric simulation of leaching losses from an oil palm field. Proceedings of the Seminar on Fertilizers in Malaysian Agriculture. Malaysian Society of Soil Science, Kuala Lumpur, pp. 45-68 dalam Bruijnzeel. 2004. Hydrological functions of tropical forests not seeing the soil for the trees? Agric. Ecos. Env. 104 2004, pp. effect of land use changes on the water balance in the Ciliwung-Cisadane catchmentA HartoA DanKondohHarto, dan A. Kondoh. 1998. The effect of land use changes on the water balance in the Ciliwung-Cisadane catchment, West Java, Indonesia. Prosiding the International Symposium on Hydrology, Water Resources and Environment, Development and Management in Southeast Asia and the Pacific, Taegu, Republic of Korea, November 10-13, 1998. ROSTSEA/UNESCO, Jakarta, pp. 2007. Potret Buram Hutan Indonesia. Diakses tanggal 27 Juli spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geoinformation Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and ManagementE F LambinLambin, 1994. Modeling deforestation processes a review Research report. No. 1 TREES Series B. 115 p. dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geoinformation Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and ManagementE F J LambinHelmutLambin, dan J. Helmut. 2001. What Drives Tropical deforestation? LUCC international project. CIACO. Belgium dalam Loza, A. 2004. A spatial logistic model for tropical forest conversion. MSc Thesis in Geo-information Science and Earth Observation, Environmental System Analysis and Management. ITC-Netherlands.
1 Pengertian Lahan Kritis. Lahan kritis adalah lahan yang fungsinya kurang baik sebagai media produksi, baik untuk menumbuhkan tanaman yang dibudidayakan maupun yang tidak dibudidayakan. Begitulah kurang lebih pengertian lahan kritis menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air.
BerandaNews Kementan: Alih Fungsi Pertanian Jadi Tanggung Jawab Bersama. Kementan: Alih Fungsi Pertanian Jadi Tanggung Jawab Bersama. Editor: Diko Eno - News. Jumat, 18 Oktober 2019 - 02:49 Minggu, 13 Juni 2021 - 23:20.
Kadaladalah reptilia yang paling sukses berkembang dan dapat dijumpai di semua habitat: hutan, gurun pasir, padang rumput, kebun, sawah, rawa, bahkan di pemukiman dan kota-kota, dimanapun selama kadal bisa menemukan makanan kesukaan mereka. Banyak hutan di Indonesia yang dimanfaatkan penjajah untuk diambil kayunya sebagai bahan perang
bWON.